Budi Utomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan beberapa mahasiswa dan tokoh pemuda pribumi di STOVIA di Jakarta. Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa banyak perkumpulan pribumi yang hanya mementingkan golongan sendiri dan tertutup. Sementara Pemerintah Hindia Belanda jelas tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib kaum pribumi. Bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan. Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Dr Wahidin dan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif, tetapi terbuka untuk siapa saja, tanpa melihat kedudukan, kekayaan atau pendidikannya.Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura. Mereka mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, Manado, Borneo dan Ambon. Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula kebudayaannya. Dengan demikian, pada awalnya Budi Utomo memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja. Karena menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.Sekalipun para pemuda itu merasa tidak tahu banyak tentang nasib, keadaan, sejarah dan aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura, mereka tahu bahwa saat itu orang Manado mendapat gaji lebih banyak dan diperlakukan lebih baik daripada orang Jawa. Padahal dari sisi pendidikan, keduanya berjenjang sama. Itulah sebabnya pemuda Soetomo dan kawan-kawan tidak mengajak pemuda-pemuda di luar Jawa untuk bekerja sama.Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat pro perjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa.Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya, "tanah air" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah antara lain oleh Tjokroaminoto menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij, karena dalam arena politik, Budi Utomo memang belum bisa berbuat banyak.Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut, yaitu etika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi. Ini mengobarkan amarah rakyat pribumi (bangsa jajahan).Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera). Namun sejak itu, Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi. Walau kemudian tafsiran terhadap gerakan perhimpunan Budi Utomo ini menimbulkan berbagai versi yang berbeda, setidaknya bisa ditarik sebuah garis bahwa cikal bakal kebangkitan nasional hadir melalui perhimpunan Budi Utomo.Kebangkitan Nasional Jangan Hanya Seremonial Ada satu hal yang sudah selama puluhan tahun tidak menjadi pemikiran banyak orang, yaitu gejala bahwa Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei sudah tidak lagi diperingati secara khidmat atau selayaknya sebagai peristiwa yang penting dalam sejarah bangsa. Bagi mereka yang masih ingat kepada masa di bawah kepemimpinan Bung Karno, maka akan terasa betapa besar bedanya antara peringatan Hari Kebangkitan Nasional sebelum 1965 dengan pasca-Orde Lama. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan sampai 1965 selalu sarat dengan dikobarkannya semangat untuk menghormati jasa-jasa para perintis kemerdekaan, semangat untuk mempersatukan bangsa, semangat untuk bersama-sama meneruskan revolusi menuju masyarakat adil dan makmur. Hal ini juga diakui oleh Timbas Tarigan, Ketua Komisi E DPRD Sumut. Saat ini peringatan Kebangkitan Nasional hanya sekadar sebuah seremonial saja, sehingga arti pentingnya kebangkitan nasional terlupakan," terang Timbas Tarigan.Timbas Tarigan berharap agar momen kebangkitan nasional bukan hanya diperingati secara seremonial belaka, tetapi hendaknya dapat dijadikan sebagai momen introspeksi diri terhadap apa yang telah kita lakukan selama ini.Sependapat dengan Timbas Tarigan, Ikrimah Hamidi ST Ketua FPKS DPRD Kota Medan mengatakan bahwa momen kebangkitan nasional jangan hanya dijadikan sebagai kegiatan seremonial saja. Menurut Ikrimah Hamidi, hal ini karena negara Indonesia saat ini benar-benar berada dalam kondisi yang sangat kritis. "Lihat saja keadaanya, korupsi yang semakin parah, mutu pendidikan yang masih rendah, kemiskinan,… dan sederet persoalan lainnya," papar Ikrimah Hamidi.Lebih rinci Ikrimah mengungkapkan, saat ini masyarakat sudah banyak kehilangan identitas diri. Seolah-olah nasionalisme itu hanya diartikan sebagai kecintaan terhadap bangsa yang ditunjukkan dengan perayaan-perayaan dan acara seremonial saja. Tetapi sikap nyata untuk membangun bangsa dengan taat hukum, tidak korupsi, menjaga kebersihan, melindungi sesama, memberi toleransi agama dengan kepercayaan masing-masing, tidak diperhatikan sebagai hal mendasar dalam menyikapi nasionalisme.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar